Home / Cakrawala / Ekonomi Desa / Strategi Bangkitkan Ekonomi dari Akar Rumput

Strategi Bangkitkan Ekonomi dari Akar Rumput


Koperasi Desa Merah Putih

Pada Maret 2025, Menteri Koperasi Republik Indonesia menerbitkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih. Inisiatif ini muncul sebagai respons langsung atas arahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya menghidupkan kembali semangat gotong royong dan kemandirian ekonomi di desa-desa, lewat instrumen koperasi.

Program ini tidak sekadar menjadi kebijakan administratif, melainkan sebuah gerakan ekonomi akar rumput dengan target ambisius: membentuk 70.000 koperasi desa dalam waktu kurang dari empat bulan, yang puncaknya akan dideklarasikan pada 12 Juli 2025, bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional.

Revitalisasi Nilai Dasar Koperasi

Koperasi bukan hal baru bagi Indonesia. Ia pernah menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, namun kemudian tenggelam oleh birokrasi yang lambat, manajemen lemah, hingga minimnya pengawasan. Program Koperasi Desa Merah Putih berusaha menghidupkan kembali esensi koperasi: ekonomi berbasis kebersamaan, keterlibatan masyarakat, dan keberlanjutan lokal.

Uniknya, pendekatan yang diambil dalam program ini bukan top-down murni. Setiap koperasi wajib melalui musyawarah desa, yang artinya suara warga menjadi dasar pembentukan koperasi, dari struktur pengurus, jenis usaha, hingga anggaran dasar. Ini bukan hanya proses teknis, tapi sekaligus cara memulihkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap koperasinya sendiri.

Tiga Model, Satu Tujuan: Pemberdayaan Desa

Program ini fleksibel dan adaptif. Ada tiga pendekatan yang ditawarkan:

  1. Mendirikan koperasi baru bagi desa yang belum memiliki.
  2. Mengembangkan koperasi aktif yang sudah ada.
  3. Revitalisasi koperasi lemah lewat restrukturisasi atau penggabungan.

Dengan strategi ini, desa tidak dipaksa menyesuaikan diri dengan satu model, tetapi diberikan ruang untuk menyesuaikan berdasarkan potensi dan tantangan lokal. Inilah yang membuat program ini potensial berhasil: ia tidak bersifat seragam, tapi kontekstual.

Bukan Sekadar Koperasi, Tapi Ekosistem Ekonomi Desa

Jenis usaha yang ditawarkan dalam koperasi ini juga bukan pilihan acak. Penyediaan sembako, klinik desa, cold storage, unit simpan pinjam, hingga distribusi logistik adalah sektor-sektor yang selama ini rentan dimonopoli atau dikuasai pihak luar. Dengan koperasi, akses terhadap layanan dasar bisa didekatkan, harga bisa ditekan, dan uang berputar dalam komunitas lokal.

Lebih dari itu, koperasi bisa menjadi ekosistem ekonomi desa. Bayangkan sebuah koperasi yang menjalankan warung sembako, menyimpan hasil panen di gudangnya sendiri, menyediakan obat untuk warga, dan memberikan pinjaman lunak kepada petani atau pedagang lokal. Ini bukan sekadar bisnis. Ini adalah infrastruktur kemandirian.

Kepala Desa Jadi Pengawas: Antara Potensi dan Risiko

Hal yang menarik sekaligus memicu diskusi adalah ditetapkannya Kepala Desa sebagai Ketua Pengawas koperasi secara ex-officio. Di satu sisi, ini memperkuat sinergi pemerintahan desa dengan koperasi. Di sisi lain, ada risiko konflik kepentingan atau tumpang tindih fungsi.

Pengawasan partisipatif dari anggota dan transparansi pengelolaan menjadi kunci. Karena itu, program ini juga menekankan pentingnya laporan triwulanan, audit, dan evaluasi berkala. Mekanisme ini harus dijalankan dengan disiplin jika koperasi desa benar-benar ingin menjadi lembaga ekonomi yang sehat dan berkelanjutan.

Tantangan: Waktu Singkat, Target Besar

Meski potensial, tantangannya nyata. Membentuk 70.000 koperasi dalam waktu sekitar empat bulan adalah pekerjaan raksasa. Belum lagi tantangan kapasitas SDM di desa, keterbatasan literasi koperasi, dan resistensi terhadap perubahan.

Namun justru di sinilah pentingnya keterlibatan semua pihak: dari kementerian pusat, dinas koperasi daerah, kepala desa, hingga tokoh masyarakat. Koperasi bukan proyek pemerintah semata, melainkan proyek kolektif bangsa.

Menanam Harapan Baru di Desa

Jika berhasil, program ini akan menjadi titik balik penting dalam sejarah koperasi di Indonesia. Lebih dari itu, ia bisa menjadi cetak biru bagaimana pembangunan tidak harus dimulai dari kota, tapi dari desa. Dari tempat-tempat yang selama ini dianggap marjinal, padahal justru menyimpan potensi terbesar.

Koperasi Desa Merah Putih bukan hanya tentang angka 70.000. Ini tentang menanam ulang harapan ekonomi di tanah yang selama ini ditinggalkan. Ini tentang membangun dari bawah, bukan dari atas. Ini tentang memastikan setiap warga desa bisa ikut menentukan arah dan masa depan ekonominya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *