Home / Cakrawala / Politik Desa / Dari Ladang ke Negara: Genta Pangan Menata Ulang Politik Pertanian Indonesia

Dari Ladang ke Negara: Genta Pangan Menata Ulang Politik Pertanian Indonesia

Indonesia tidak sedang kekurangan kemampuan bertani; yang krusial adalah bagaimana politik pertanian mengatur, mengarahkan, dan memaksa sistem pangan bekerja secara adil dan stabil. Pangan adalah hasil dari keputusan politik, bukan semata hasil panen. Ketersediaan pangan nasional lahir dari tiga elemen besar: produksidistribusi, dan kendali harga. Ketiga elemen ini berdiri di atas fondasi politik — bukan teknis.

Politik Pertanian Menentukan Arah Produksi

Fragmentasi lahan bukan sekadar masalah teknis yang memengaruhi ukuran kepemilikan; ia menggerogoti produktivitas struktural dengan cara yang sulit dibalik tanpa intervensi politik. Ketika lahan bercabik-cabik karena pewarisan, konversi, dan kepemilikan kecil-kecil, biaya transaksi melonjak (waktu mobilisasi, transport antar-plot, koordinasi tanam), peluang mekanisasi berkurang, dan skala ekonomi untuk investasi perbaikan tanah atau irigasi tidak pernah tercapai — hasilnya output per hektar stagnan atau menurun meski teknologi benih atau pupuk tersedia. Studi lapangan di berbagai wilayah Indonesia menunjukkan pola ini berulang: fragmentasi meningkatkan biaya, menurunkan efisiensi, dan mempersempit pilihan kebijakan bagi petani untuk beradaptasi.

Infrastruktur irigasi yang rapuh mempertegas bahwa produksi itu politik karena alokasi anggaran dan prioritas pembangunanlah yang menentukan air sampai ke sawah atau tidak. Data dan kajian menyebutkan proporsi jaringan irigasi yang rusak cukup besar; bila anggaran dialihkan ke proyek infrastruktur visibel-politik (jalan, monumen, proyek skala besar), perbaikan irigasi yang berdampak langsung pada intensifikasi padi dan ketahanan produksi terabaikan — dan ini bukan kegagalan teknis; ini kegagalan prioritas anggaran yang diputuskan oleh politisi. Akibatnya pola tanam terputus, panen rentan terhadap musim kering, dan potensi produksi nasional tidak pernah dimaksimalkan meski benih unggul sudah ada.

Kebijakan impor yang dipakai sebagai alat politik jangka pendek memperlihatkan dilema klasik: tindakan impor bisa meredam gejolak harga konsumen dalam jangka pendek tetapi sekaligus merusak sinyal pasar untuk produsen domestik. Sejarah kebijakan beras di Indonesia memperlihatkan bahwa keputusan impor sering dipicu oleh tekanan politik untuk menurunkan harga cepat — namun kebijakan semacam itu melemahkan insentif bagi petani untuk menanam lebih banyak atau berinvestasi, karena risiko “banjir impor” selalu mengintai harga. Selain itu, manuver impor tanpa pengelolaan cadangan dan kronogram yang jelas menjadikan impor alat politik alih-alih instrumen stabilisasi ekonomi jangka menengah.

Tanpa harga dasar yang melindungi biaya produksi, petani menghadapi volatilitas yang mengikis investasi dan keberlanjutan usaha tani. Kebijakan harga dasar (HPP/guaranteed price) yang setengah hati atau tidak didukung oleh pembelian efektif dan cadangan BUMN membuat jaminan itu percuma — ketika floor price tidak dipraktikkan secara konsisten, petani tetap terpapar gelombang harga dunia dan intermediasi pasar yang predatory. Analisis empiris menunjukkan bahwa mekanisme penstabil harga yang efektif (mis. penyerapan stok oleh badan publik, pembayaran tepat waktu, dan program pembiayaan yang melindungi cashflow petani) bisa meningkatkan keputusan produksi; sebaliknya, kegagalan institusional membuat produksi stagnan walaupun teknologi tersedia.

Fenomena-fenomena ini mempertegas klaim awal — kekurangan produksi bukan kegagalan teknologi atau petani semata, melainkan kegagalan politik yang memetakan hak lahan, mengalokasikan anggaran infrastruktur, mengatur kebijakan impor, dan menjamin harga. Menangani masalah ini menuntut reformasi politik yang mengubah insentif: konsolidasi lahan atau mekanisme kerjasama skala, prioritas perbaikan jaringan irigasi dalam APBN/APBD, kerangka impor yang transparan dan berbasis data, serta mekanisme harga dasar yang dapat dipercaya oleh petani.

Politik Distribusi Menentukan Siapa Mendapat Akses

Fragmentasi rantai distribusi dan keberadaan oligopoli/kartel membuat biaya logistik menggandakan nilai komoditas sebelum sampai ke konsumen. Praktik pengaturan tarif angkutan, penguasaan rute kunci, dan kolusi antarpemain gudang menyebabkan ongkos transport dan margin perantara menganga — sehingga harga di pasar konsumen bisa jauh melampaui harga di sentra produksi. Kasus-kasus kartel angkutan yang diputus oleh KPPU dan liputan tentang dominasi pemain logistik mempertegas bahwa medan transportasi darat dan pelabuhan bukan semata soal infrastruktur fisik, melainkan arena kekuasaan ekonomi yang memungut “sewa” dari setiap ton beras yang lewat. 

Intermediasi berlapis (tengkulak, pedagang pengumpul, penggudang, pelapak besar) memecah nilai tambah sehingga produsen menerima bagian kecil sementara konsumen menanggung harga yang jauh lebih tinggi. Studi kasus provinsi menunjukkan ketergantungan pada perantara mengakibatkan distribusi keuntungan yang timpang dan mengurangi insentif produsen untuk meningkatkan produksi atau kualitas — karena keuntungan tambahan akan direbut di sepanjang rantai sebelum mencapai petani. Data akademis dan studi rantai nilai mengindikasikan bahwa persoalan bukan kekurangan pasokan fisik semata, melainkan struktur pasar yang membuat selisih harga produsen–konsumen menjadi signifikan. 

Kebijakan publik yang pasif atau terfragmentasi memperkuat posisi pemain besar. Ketika negara tidak hadir secara konsisten — baik dalam bentuk infrastruktur distribusi, penyimpanan strategis, atau pengaturan pasar — ruang itu segera diisi oleh aktor swasta yang memiliki modal dan jaringan. Fungsi badan publik seperti BULOG sebenarnya dimaksudkan menstabilkan harga dan mengelola stok, tetapi tanpa reformasi peran, kapabilitas logistik, dan tata kelola yang transparan, intervensi pemerintah sering tiba terlambat atau tidak cukup untuk menahan rent extraction di sepanjang rantai. Oleh sebab itu, memperkuat BUMN pangan dan memperjelas mandatnya adalah tindakan politik strategis, bukan hanya operasional. 

Solusi politik yang efektif tidak harus bersifat teknokratik semata — ia harus merombak insentif dan membuka struktur pasar: konsolidasi logistik publik-swasta untuk menciptakan skala yang menekan biaya unit; pembentukan dan modernisasi gudang panen (buffer storage) di sentra produksi untuk menahan pasokan yang tiba sekaligus memutus mekanisme “panic selling”; penegakan antimonopoli agresif terhadap kartel transport; dan penerapan open contracting sehingga semua kontrak gudang/transport dipublikasikan dan dapat diaudit publik. Di samping itu, digitalisasi rantai pasok (single-source data, e-marketplace, traceability) mengurangi ruang untuk manipulasi berat karena setiap transaksi dan batch stok bisa dilacak. Implementasi terukur dari strategi semacam ini telah terbukti menurunkan biaya logistik dan harga konsumen dalam studi-studi pilot di kota/kabupaten. 

Maka politik distribusi yang kuat adalah politik yang membuat aliran komoditas dan aliran uang berjalan paralel dan transparan. Jika pemerintahan berani menata ulang aturan main: (1) memaksa transparansi kontrak dan pembayaran; (2) menjamin akses gudang publik/daerah bagi produsen kecil; (3) menguatkan peran BUMN pangan yang efisien; dan (4) membangun konsorsium pembelian/transport antar-pemda untuk memecah oligopoli, maka beban distribusi akan turun dan ketersediaan yang bermakna (affordable availability) akan muncul — bukan sekedar volume yang tersaji di statistik. Itu politik, bukan hanya logistik. 

Politik Harga Menentukan Stabilitas Nasional

Harga pangan bukan sekadar angka ekonomi—ia adalah indikator legitimasi politik yang bergerak cepat. Ketika harga pangkal masalah melonjak tanpa respons kredibel dari negara, kepuasan publik menyusut, narasi ketidakmampuan menyebar, dan ruang protes menjadi besar. Karena itu pengelolaan harga harus diperlakukan sebagai fungsi keamanan nasional: bukan reaksi ad-hoc ketika pasar sudah panik, melainkan sistem permanen yang menggabungkan cadangan fisik, instrumen pasar, dan mekanisme komunikasi politik yang meyakinkan publik bahwa negara memegang kendali.

Salah satu sumber volatilitas yang berulang adalah mekanisme impor yang dipakai sebagai alat pemadam kebakaran politik. Lelang cepat dan keputusan pembelian yang didorong tekanan jangka pendek mungkin meredam headline, tetapi menambah ketidakpastian pasar dalam jangka menengah — petani menunda investasi karena takut “banjir impor”, pelaku logistik menyesuaikan harga berdasar spekulasi, dan cadangan lokal terkuras. Solusinya bersifat tata-pemerintahan: prosedur impor yang transparan, trigger berbasis data (bukan mood politik), dan jadwal impor yang terkoordinasi dengan operasi cadangan sehingga impor benar-benar bersifat komplementer, bukan kompetitif terhadap produksi domestik.

Cadangan pemerintah dan buffer stock daerah adalah bantalan fisik sekaligus instrumen stabilisasi harga. Namun buffer yang kecil, terfragmentasi, atau dikelola tanpa tata kelola modern justru menjadi sumber masalah—stok buruk penanganan rusak, korupsi, dan keterlambatan pelepasan pasar. Politik harus berani membiayai dan mereformasi manajemen cadangan: modernisasi gudang, standar mutu, rotasi stok, penugasan pembelian/pengeluaran yang otomatis berdasarkan indikator pasar, dan transparansi publik atas jumlah & lokasi cadangan. Di tingkat daerah perlu insentif fiskal agar kabupaten/kota menjaga buffer regional; nasional tak bisa menumpang seluruh beban.

Menetapkan harga dasar yang adil adalah tindakan politik yang melindungi produksi jangka panjang. Tapi harga dasar tanpa kapasitas penyerapan (pembelian oleh badan publik), tanpa pembiayaan likuid bagi petani, dan tanpa mekanisme pelepasan yang terukur menjadi janji kosong. Oleh karena itu harga dasar harus didampingi: (1) mandat pembelian/penyerapan dari BUMN pangan atau skema kontrak jangka menengah; (2) skema kredit/garansi untuk menjaga cashflow petani; (3) transparansi implementasi sehingga publik tahu kapan dan bagaimana harga dasar diterapkan—semua ini menjadikan harga dasar kredibel di pasar dan mengubah perilaku produksi.

Kebijakan harga efektif memerlukan sistem intelijen pasar yang kuat—forecasting produksi, pemantauan stok, data perdagangan, dan model risiko iklim. Politik yang bertanggung jawab membiayai dan mengikat lembaga-lembaga ini agar menghasilkan trigger otomatis (mis. pelepasan stok, impor terjadwal, subsidi terarah) bukan debat politis di saat krisis. Tambahan lagi, gunakan instrumen keuangan: hedging, kontrak future terarah, dan dana kontingensi (food stabilization fund) untuk meredam guncangan tanpa merusak sinyal harga domestik.

Akhirnya, aspek politik tidak hanya kebijakan teknis—ia soal komunikasi, kredibilitas, dan keberanian membuat keputusan yang mungkin tidak populer jangka pendek namun menyelamatkan stabilitas jangka panjang. Pemerintah harus menjelaskan trade-off, menunjukkan data, dan menegaskan komitmen institusional (perundang-undangan, koordinasi antar-kementerian, mandat BUMN) sehingga publik menerima kebijakan stabilisasi sebagai upaya salvasi nasional, bukan permainan politik sesaat. Tanpa keberanian politik itu, semua instrumen teknis hanya menjadi perbaikan sementara—harga akan kembali liar, dan legitimasi ikut terguncang lagi.

Politik Pertanian Menentukan Apakah Petani Bertahan atau Menyerah

Keputusan seorang petani untuk terus bertani adalah hasil kalkulasi ekonomi-politik yang sederhana: apakah usaha tani memberi penghidupan yang layak dan harapan masa depan untuk keluarga? Ketika harga komoditas fluktuatif dan tidak ada jaminan bahwa panen mereka akan terpenuhi harga yang menutup biaya, ketika kepemilikan lahan tak pasti dan terus tergerus melalui kebijakan atau konversi, ketika pupuk, benih, dan jasa mekanisasi semakin mahal tanpa subsidi yang tepat sasaran, pilihan rasional banyak petani adalah mencari pekerjaan lain — buruh konstruksi, migrasi ke kota, bahkan menjual tanah untuk pengembangan. Hilangnya petani bukan hanya penurunan kuantitas tenaga kerja; itu juga hilangnya pengetahuan lokal, kalender tanam tradisional, jaringan pemasaran lokal, dan kapasitas adaptasi terhadap guncangan iklim. Akibatnya ketersediaan pangan jangka menengah dan panjang runtuh walau stok tercatat cukup hari ini.

Memaksa petani bertahan bukan soal memberi “rumah subsidi” setengah hati, melainkan mengubah insentif struktural. Pertama: kepastian harga yang kredibel — bukan janji politis — harus diikat pada mekanisme praktis: program penyerapan oleh badan publik (mis. MBG/BULOG daerah) dan kontrak pembelian jangka menengah yang memberikan kepastian pasar. Kedua: subsidi harus diarahkan ke biaya produksi nyata (pupuk bersubsidi tepat sasaran, input berkualitas, layanan mekanisasi bersama), bukan berupa kelinci-kelinci politik yang bocor. Ketiga: akses modal murah — pembiayaan mikro terintegrasi dengan asuransi panen sederhana dan jaminan kolektif melalui koperasi — mengatasi kesenjangan likuiditas yang membuat petani terpaksa menjual panen murah ke tengkulak. Keempat: reformasi tata guna dan hak atas tanah — kepastian hak milik atau kepastian sewa panjang mendorong investasi jangka panjang (drainase, perbaikan lahan, irigasi mikro). Tanpa kepastian tanah, setiap upaya intensifikasi rentan.

Tindakan politik yang efektif juga harus menguatkan kelembagaan lokal: dorong pembentukan multipurpose cooperatives / aggregators yang memberi layanan input, gudang, akses pasar, dan pembukuan bersama sehingga skala ekonomi dinikmati petani kecil. Pemerintah daerah wajib dipasok insentif fiskal untuk mendirikan gudang panen lokal (buffer storage) yang dikelola bersama petani, dengan skema rotasi stok agar tidak menjadi beban anggaran. Digitalisasi—platform pembelian elektronik, traceability, dan sistem pembayaran digital—mengurangi ketergantungan pada tengkulak dan memperpendek rantai nilai, tetapi ini hanya efektif bila dibarengi dengan literasi keuangan dan jaminan pembayaran cepat.

Terakhir, politik pertanian yang sehat harus memperhitungkan dimensi sosial: program yang menempatkan petani sebagai aktor martabat (subsidi untuk inovator petani, bonus produktivitas, penghargaan komunitas, dukungan layanan kesejahteraan seperti pendidikan dan kesehatan di desa) menahan arus urbanisasi. Kebijakan pro-petani harus dikomunikasikan secara transparan sehingga keputusan bertani dipandang sebagai pilihan hidup yang terhormat dan ekonomis. Tanpa kombinasi kepastian harga, akses modal, hak atas tanah, layanan kolektif, dan penghargaan sosial, upaya teknis sekecil apa pun akan gagal mempertahankan basis produksi nasional.

Politik Pertanian adalah Geopolitik

politik pertanian hari ini adalah arena geopolitik. Di level makro, ketergantungan pada impor pupuk dan komoditas dari negara produsen besar menciptakan leverage strategis: ketika pasokan terganggu (sanksi, perang, atau kebijakan ekspor), harga input dan output meroket dan negara importir menjadi rentan. Contoh nyata: gangguan pasokan pupuk dan gandum setelah invasi Rusia ke Ukraina menunjukkan bagaimana hambatan di hulu cepat merembet ke produksi domestik dan harga pangan global — negara yang tidak mengamankan sumber strategis ini harus membayar premi politik dan ekonomi. 

Itu sebabnya diplomasi pupuk dan bahan baku pertanian harus dinaikkan derajatnya: bukan sekadar urusan perdagangan tapi bagian dari kebijakan luar negeri prioritas. Negosiasi jangka menengah untuk kontrak pasokan, diversifikasi pemasok, skema barter strategis, serta kerjasama R&D untuk substitusi (mis. pupuk organik skala besar, teknologi efisiensi hara) mengurangi exposure. Negara yang menganggap pupuk dan benih sebagai komoditas diperdagangkan saja, bukan aset strategis, akan selalu menghadapi dilema: menenangkan pasar domestik sekarang atau merusak kedaulatan pangan esok. 

Pengamanan jalur laut dan chokepoints adalah aspek politik-logistik yang sering diabaikan dalam perdebatan domestik: sekitar 80% volume perdagangan global bergerak lewat laut, dan gangguan di Selat Malaka, Bab-el-Mandeb, Suez atau rute Laut Hitam punya efek domino pada pasokan pangan dan input. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, mengamankan jalur impor strategis sekaligus memperkuat kemampuan domestik (angkutan, cadangan regional, patroli maritim, dan kerja sama kawasan) adalah tindakan geopolitik yang konkret — bukan hanya soal armada militer tetapi juga diplomasi keamanan maritim dan investasi infrastruktur port-to-farm. 

Pembangunan regional food corridors dengan negara sahabat (perjanjian pasokan preferensial, jaringan logistik lintas-negara, fasilitas transshipment) dan investasi negara pada teknologi benih strategis (seed banks, breeding untuk toleransi iklim, dan kapasitas perbanyakan lokal) membuat negara kurang rentan terhadap shock eksternal. Kebijakan benih harus dipandang sebagai investasi industri: program national seed security, insentif R&D, dan penguatan institusi regulasi menurunkan kebutuhan impor benih bermerek dan mempercepat adaptasi varietas terhadap iklim lokal. 

Maka politik pertanian harus menyatu dengan politik luar negeri, industri, dan logistik. Itu berarti menggeser kebijakan dari reaktif ke proaktif—mengamankan rantai pasok strategis melalui diplomasi dan perjanjian, membangun cadangan dan guru modern untuk resilience, melindungi jalur laut dan transport, serta membiayai inovasi benih dan substitusi input. Tanpa langkah-langkah ini, upaya peningkatan produksi domestik tetap rentan terhadap faktor eksternal — dan kedaulatan pangan tetap retak karena bukan hanya soal ladang, tetapi soal bagaimana negara bermain di panggung global.

Sistem Informasi Pangan adalah Instrumen Politik

Digitalisasi bukan sekadar soal memindahkan formulir ke server — ia mengubah medan politik yang selama ini memungkinkan manipulasi, monopoli, dan kebocoran. Dengan arsitektur data tunggal (single source of truth) yang mengikat data produksi, stok, pengadaan, distribusi, dan transaksi keuangan dalam satu ekosistem terpadu—dilengkapi identitas entitas (petani, gudang, armada), cap waktu audit, dan jejak transaksi yang tidak bisa diubah—negara memperoleh bukti operasional yang membuat klaim politis mudah diverifikasi. Itu berarti keputusan impor tidak lagi dilandasi oleh laporan fragmentaris yang mudah dimanipulasi, melainkan oleh indikator terukur: tingkat stok riil per wilayah, laju rotasi gudang, harga di sentra produksi, dan prediksi panen berbasis cuaca. Ketika semua aktor (dari kepala desa hingga kementerian) melihat satu kebenaran data yang sama, ruang negosiasi gelap—tempat cartel dan perantara mengekstraksi nilai—menyempit.

Di level operasional, digitalisasi memungkinkan intervensi cepat dan bertarget: trigger otomatis untuk pelepasan cadangan, pelelangan publik untuk transport/gudang yang disertai open-contracting, pembayaran milestone ke pemasok dan dapur melalui escrow digital, serta sistem verifikasi distribusi real-time (foto geotagged, tanda terima elektronik). Analitik dan model prediksi mengubah data historis menjadi kebijakan proaktif—mis. menunda impor, menambah penyerapan lokal, atau mengalihkan subsidi—sebelum pasar panik. Namun ini bukan solusi ajaib tanpa politik: membangun sistem semacam ini memerlukan mandat hukum (data governance, keterbukaan kontrak), kapasitas BPS/BUMN/BPK untuk audit real-time, dan insentif agar aktor lokal melaporkan data jujur (pembayaran cepat, akses pasar). Tanpa itu, data akan tetap dipelintir atau tidak lengkap.

Akhirnya, ada risiko nyata—kesenjangan digital, bias data, dan keamanan siber—yang jika diabaikan bisa memperbesar ketidakadilan. Mitigasinya pragmatis: aplikasi offline-first untuk petani, verifikasi multi-pihak (komunitas + auditor independen), enkripsi & penilaian risiko, serta program pelatihan luas. Bila dirancang sebagai instrumen politik yang mengikat (bukannya sekadar proyek TI), digitalisasi menjadi alat pemberdayaan: memutus rantai nilai predator, menutup kebocoran anggaran, dan menjadikan ketersediaan pangan sesuatu yang dapat diprediksi — bukan sekadar diawasi setelah krisis terjadi.

Rekomendasi Strategis – Politik Pertanian, Kedaulatan Pangan, dan Urgensi Membangun Gerakan Genta Pangan Mandiri

Pada akhirnya, seluruh analisis dalam laporan ini bermuara pada satu kesimpulan mendasar, yaitu kedaulatan pangan tidak lahir dari teknologi, tetapi dari kekuatan politik yang berani menata ulang ekosistem pangan nasional. Tanpa politik pertanian yang kuat—yang mengatur lahan, mengendalikan distribusi, menetapkan harga adil, mendisiplinkan pasar, mengamankan cadangan, dan memutus ketergantungan impor—ketersediaan pangan hanya menjadi ilusi. Ia stabil hari ini, rapuh besok. Ia tampak aman di atas kertas, tetapi pecah saat krisis global menghantam.

Namun di sisi lain, sejarah membuktikan bahwa negara yang memiliki keberanian dan visi politik pertanian yang tegas mampu menjaga stabilitas pangan bahkan ketika dunia dilanda perang harga, embargo ekspor, fluktuasi logistik, atau perubahan iklim ekstrem. Dengan politik pertanian yang konsisten, ketersediaan pangan tidak hanya dapat dijaga—tetapi dapat dirancang untuk menjadi instrumen kekuatan nasional.

Dalam konteks inilah urgensi membangun Gerakan Genta Pangan Mandiri menjadi sangat relevan, bahkan mendesak. Gerakan ini bukan sekadar organisasi; ia adalah **arus besar konsolidasi kekuatan petani, nelayan, dan pelaku pangan** dalam satu kerangka perjuangan yang terstruktur dari pusat hingga desa. Genta Pangan mengisi kekosongan yang selama ini tidak mampu dijawab oleh pendekatan birokratis maupun korporatis: bagaimana menyatukan produksi, distribusi, pembiayaan, dan hilirisasi dalam satu gerakan rakyat yang disiplin dan berdaya tawar tinggi.

Genta Pangan menawarkan model baru: sebuah gerakan pangan nasional yang bertumpu pada petani sebagai subjek utama. Melalui struktur nasional yang terkoordinasi, klaster budidaya kolektif, koperasi produksi, depo pangan, serta unit hilir di tingkat daerah, gerakan ini menciptakan value chain yang dimiliki dan dikontrol oleh pelaku pangan itu sendiri. Dengan demikian, nilai tambah tidak lagi bocor ke tengkulak, kartel transport, atau pedagang besar, tetapi kembali ke petani dan komunitas lokal.

Lebih jauh, gerakan ini berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan politik pangan nasional. Dalam lanskap di mana kebijakan sering terjebak tarik-menarik kepentingan, Genta Pangan memberikan basis sosial yang kuat bagi reformasi politik pertanian: pendataan petani, konsolidasi lahan sistemik, modernisasi tani, penerapan teknologi digital desa, kontrak penyerapan hasil, hingga intervensi harga berbasis organisasi rakyat. Dengan basis jutaan petani yang terstruktur, Genta Pangan lahir sebagai pressure group baru yang mampu mendorong perubahan kebijakan dari bawah—bukan hanya menunggu keputusan dari atas.

Gerakan ini juga melengkapi peran negara dalam memastikan kedaulatan pangan. Ketika pemerintah memerlukan kanal implementasi program strategis seperti cadangan pangan daerah, penyerapan gabah, distribusi bahan pangan, atau integrasi sistem ERP pangan—Genta Pangan dapat berperan sebagai organizing body yang menghubungkan kebijakan dengan lapangan. Dengan organisasi yang masif dan disiplin, Genta Pangan menjadi jembatan antara kebijakan publik dan praktik produksi.

Dalam perspektif geopolitik, keberadaan Genta Pangan meningkatkan resiliensi nasional. Di tengah ancaman krisis pupuk global, perang distribusi logistik, dan embargo ekspor pangan, negara membutuhkan kekuatan domestik yang solid: petani terorganisir, produksi terkonsolidasi, rantai nilai lokal terintegrasi, serta buffer pangan komunitas yang nyata. Genta Pangan menyediakan infrastruktur sosial dan ekonomi untuk itu—sebuah jaringan nasional yang mampu bergerak cepat, terhubung, dan responsif terhadap ancaman.

Oleh karena itu, pembentukan dan penguatan Seknas Genta Pangan Mandiri bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan strategis bagi masa depan pangan Indonesia. Gerakan ini adalah jawaban atas stagnasi politik pertanian, deviasi tata kelola, dan dominasi rantai nilai oleh segelintir aktor. Dengan mengerahkan energi kolektif rakyat pangan—petani, nelayan, pengusaha kecil, pengolah, dan komunitas desa—Indonesia tidak hanya memperkuat produksinya, tetapi membangun **kekuatan sosial-politik** yang menjadi fondasi kedaulatan pangan bangsa.

“Kedaulatan pangan tidak akan datang dari pasar, tidak akan datang dari teknologi, dan tidak akan datang dari birokrasi semata. Ia hanya akan lahir dari sebuah gerakan. Dan gerakan itu bernama Genta Pangan.” Raharjo Eko Saputro

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *