Di Desa Tambakrejo, Jawa Timur, Pak Slamet (45) dengan bangga menunjukkan aplikasi di smartphone-nya. Dari genggaman tangan, ia bisa memantau lima kolam ikannya sekaligus, mengatur pemberian pakan, bahkan mengecek kualitas air tanpa harus turun ke tambak. “Dulu harus bolak-balik ke tambak, sekarang cukup dari rumah,” ujarnya sambil tersenyum. Kisah Pak Slamet bukanlah cerita tunggal. Di pelosok desa Indonesia, revolusi digital sektor akuakultur sedang berlangsung dengan damai namun penuh makna.
Petambak-petambak tradisional yang dulu bergantung pada naluri dan pengalaman turun-temurun, kini mulai beradaptasi dengan teknologi yang membuat pekerjaan mereka lebih mudah, lebih efisien, dan lebih menguntungkan. Bagi pelaku usaha desa, teknologi datang sebagai pembebas dari belenggu rutinitas yang melelahkan. Sensor IoT yang terpasang di kolam mengirimkan data real-time tentang kadar oksigen, pH, dan suhu air langsung ke ponsel. Auto-feeder yang diatur melalui aplikasi memungkinkan pemberian pakan tepat waktu meski petambak sedang tidak di lokasi. Drone pemantau membantu mengawasi kolam-kolam yang luas dari udara, sementara platform digital menghubungkan langsung dengan pembeli, memotong rantai distribusi yang panjang.
Ibu Siti (38), petambak udang dari Banyuwangi, berbagi pengalaman: “Dulu, kalau mau tahu kondisi air, harus turun ke tambak bawa alat ukur. Sekarang, sambil masak di dapur bisa pantau kolam lewat HP.” Transformasi digital ini membawa dampak nyata di seluruh sendi ekonomi desa. Produktivitas meningkat 30-40% karena presisi perawatan, biaya operasional turun 25% berkat efisiensi pakan dan energi, dan harga jual menjadi lebih baik karena kualitas terjaga. Deteksi dini penyakit mencegah kematian massal ikan, early warning system meminimalkan kerugian akibat cuaca ekstrem, dan data historis membantu perencanaan yang lebih matang.
Yang menggembirakan, transformasi digital ini berhasil menarik minat generasi muda. Anak muda desa mulai tertarik kembali ke sektor perikanan, muncul profesi baru sebagai teknisi akuakultur digital, dan desa tidak lagi kehilangan generasi muda ke kota. Keberhasilan transformasi ini tak lepas dari pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah desa mengalokasikan dana desa untuk infrastruktur digital, koperasi dan kelompok tani membuat skema patungan untuk membeli peralatan digital, sementara swasta dan startup mengembangkan teknologi yang sesuai kebutuhan dan budget desa.
Di Pulau Seram, Maluku, Kelompok Tani Sumber Rejeki berhasil meningkatkan pendapatan 50% setelah mengadopsi sistem monitoring digital. “Kami mulai dengan satu sensor untuk lima kolam, bergantian pakai. Hasilnya meyakinkan, sekarang setiap kolam punya sensor sendiri,” cerita ketua kelompoknya. Sementara di Brebes, Jawa Tengah, koperasi perikanan setempat berhasil mengekspor udang vaname ke Jepang setelah menerapkan sistem traceability digital. “Buyer Jepang percaya karena bisa lacak kondisi budidaya lewat QR code,” ujar Manajer Koperasi.
Transformasi digital di desa tidak tanpa hambatan. Tantangan literasi digital disiasati dengan pelatihan bertahap dan pendampingan intensif. Masalah infrastruktur internet diatasi dengan teknologi yang bisa operasi offline dengan sync data periodic. Kendala biaya awal ditanggulangi dengan skema sewa, kredit mikro, dan patungan kelompok, sementara masalah maintenance diatasi dengan pelatihan teknisi lokal dan sparepart yang mudah didapat.
Vision 2030 untuk akuakultur desa digital sudah mulai terlihat. Konsep Smart Aquaculture Village dengan sistem akuakultur terintegrasi digital, Digital Fishery Hub sebagai sentra produksi dengan teknologi mutakhir, dan akses pasar global untuk produk desa dengan brand yang kuat menjadi target yang semakin nyata. Bagi desa dan pelaku usaha yang ingin memulai transformasi digital, langkah pertama adalah mengidentifikasi masalah utama yang bisa diatasi dengan teknologi, membentuk kelompok belajar, memanfaatkan program pemerintah, dan mulai dengan teknologi sederhana kemudian scale up seiring dengan peningkatan kemampuan.
Revolusi biru digital bukanlah cerita tentang teknologi semata, melainkan tentang pemberdayaan masyarakat desa. Tentang bagaimana petambak tradisional bisa naik kelas menjadi entrepreneur modern. Tentang bagaimana desa tidak lagi menjadi penonton, tetapi pelaku aktif dalam transformasi digital Indonesia. Seperti kata Pak Slamet: “Kami di desa bisa teknologi, asal diajari dengan sabar dan disesuaikan dengan kondisi kami.” Inilah wajah baru Indonesia yang sesungguhnya – di mana desa dan teknologi berjalan beriringan, menciptakan kemandirian pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.










