Siapa sangka dari sebuah laboratorium kecil di Semarang, lahir inovasi hijau yang kini menarik perhatian dunia? PT Alga Bioteknologi Indonesia — atau Albitec — membuktikan bahwa sains, ketekunan, dan keberanian bermimpi besar bisa membawa produk lokal ke panggung global.
Pada ajang World Osaka Expo 2025 di Jepang, Albitec tak sekadar memamerkan hasil risetnya tentang spirulina, mikroalga berwarna hijau kebiruan yang dikenal sebagai “superfood”. Mereka pulang membawa dua Letter of Intent (LOI) penting: kerja sama dengan Space Seed Holdings Inc. dan Take Craft LLC Jepang.
LOI pertama membuka peluang kolaborasi pengembangan mikroalga untuk carbon capture dan bioteknologi berkelanjutan. LOI kedua membuka jalur pasokan bahan baku spirulina Indonesia ke industri nutraseutikal dan suplemen kesehatan Jepang. Sebuah langkah besar yang bukan hanya memperluas pasar, tapi juga mengangkat nama Indonesia di rantai pasok pangan global yang berkelanjutan.
“Mikroalga mungkin kecil, tapi dampaknya sangat besar bagi manusia dan bumi,” ujar Falasifah, Direktur Albitec dan Litbang Apudsi, dengan nada penuh keyakinan.
Dari Mahasiswa Biologi ke Pemimpin Inovasi Hijau
Perjalanan Falasifah tak dimulai dari ruang pamer internasional, melainkan dari Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro (FSM UNDIP). Sejak kuliah di Jurusan Biologi tahun 2015, ia sudah jatuh cinta pada mikroorganisme — dunia kecil yang ternyata punya peran besar bagi kehidupan.
Ketertarikan itu berkembang menjadi riset mendalam tentang mikroalga, khususnya spirulina air tawar, yang kaya protein dan berpotensi menjadi solusi pangan masa depan. Setelah lulus tahun 2019, alih-alih mencari pekerjaan tetap, ia memilih jalur yang lebih menantang: mendirikan PT Alga Bioteknologi Indonesia (ALBITEC).
Langkah itu bukan tanpa risiko. Modal terbatas, riset yang kerap gagal, hingga sulitnya meyakinkan pasar terhadap produk lokal berbasis mikroalga — semua pernah dialaminya. Tapi Falasifah tetap maju. Ia yakin sains bukan hanya urusan laboratorium, tapi juga alat untuk menyelesaikan masalah nyata: gizi, kesehatan, dan lingkungan.
Spirulina: Dari Serbuk Hijau ke Solusi Dunia
Kini, produk Albitec tak hanya berbentuk bubuk spirulina. Mereka mengembangkan Phycocyanin, pigmen alami bernilai tinggi; Kopi Spirulina yang unik; masker wajah alami; hingga pakan ikan dan bahan baku industri nutraseutikal.
Produk-produk ini lahir dari riset yang serius, tapi dikemas dengan pendekatan yang bisa dijangkau masyarakat. “Kami ingin menunjukkan bahwa inovasi sains bisa dekat dengan kehidupan sehari-hari,” kata Falasifah.
Spirulina yang ditanam dan diproses di Semarang kini jadi simbol ekonomi hijau Indonesia. Ia menjawab tiga tantangan besar dunia sekaligus: ketahanan pangan, peningkatan gizi global, dan pengurangan emisi karbon.
Dari Lokal ke Global: Diplomasi Melalui Inovasi
Partisipasi Albitec di berbagai forum internasional — mulai dari Hannover Messe (Jerman), Osong Beauty Expo (Korea Selatan), hingga Vietfood & Beverage Expo (Vietnam) — menunjukkan bahwa UMKM Indonesia bisa menjadi pemain global jika berani tampil dan terus belajar.
Pencapaiannya pun panjang: penerima Australia Awards – Women-Led MSMEs Ready to Export 2024, Juara 2 Ecothon Indonesia 2023, Petani Milenial Kota Semarang 2024, hingga masuk daftar 74 Tokoh Apresiasi Prestasi Pancasila Bidang Sains dan Inovasi oleh BPIP.
Bagi Falasifah, setiap penghargaan bukan sekadar prestasi pribadi, melainkan bukti bahwa ilmu dan keberanian bisa membuka pintu yang dulu terasa mustahil.
“Saya ingin anak muda Indonesia tahu, sains bisa menjadi jalan hidup. Ilmu yang kita pelajari di kampus bisa jadi solusi nyata — asal kita tekun, mau belajar terus, dan berani melangkah,” pesannya kepada mahasiswa FSM UNDIP.
Sains, Keberanian, dan Mimpi Besar
Kisah Albitec adalah cermin bahwa inovasi besar bisa lahir dari tempat yang sederhana. Yang dibutuhkan bukan sekadar teknologi, tapi visi, konsistensi, dan keberanian untuk mencoba hal baru. Lewat spirulina, Falasifah dan timnya bukan hanya menjual produk — mereka sedang membangun narasi baru: bahwa Indonesia bisa menjadi pusat inovasi bioteknologi berkelanjutan dunia, bukan sekadar pasar bagi produk asing.
Di tengah dunia yang mencari solusi atas krisis pangan dan perubahan iklim, mikroalga kecil dari Semarang ini membuktikan satu hal besar: masa depan hijau bisa dimulai dari tetes air, tabung reaksi, dan mimpi seorang mahasiswa yang tak pernah berhenti percaya.










