Kabut pagi masih menggantung di atas sungai kecil di Desa Long Midang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Suara palu dan gergaji bersahutan dengan kicau burung di hutan seberang. Di tepi sungai, puluhan warga bersama prajurit TNI bekerja menata balok kayu, menyusun fondasi jembatan yang sudah lama diimpikan.
“Dulu kalau musim hujan, kami harus menunggu air surut baru bisa menyeberang,” kata Martinus (54), warga setempat yang ikut mengangkat batang besi penyangga. “Sekarang, dengan bantuan TNI, kami bisa kerja bareng. Tidak hanya dibangun untuk kami, tapi oleh kami.”
Selama bertahun-tahun, sungai selebar 15 meter itu menjadi pembatas antara dusun dan pasar kecamatan. Anak-anak sering kali harus melepas sepatu untuk menyeberang air, sementara hasil panen sayur terlambat sampai ke pembeli karena akses jalan terputus.
Kini, jembatan beton sepanjang 30 meter itu hampir selesai. Pembangunan dilakukan melalui program TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD), sebuah kegiatan lintas sektoral yang mempertemukan kemampuan teknik militer dengan semangat gotong royong warga desa.
“Setiap hari kami bekerja dari pagi sampai sore. Tentara tidur di rumah warga, makan bersama, jadi seperti keluarga baru di desa,” ujar Rosita (37), guru SD setempat. “Anak-anak kami ikut bantu ambil pasir. Mereka bangga lihat jembatan ini berdiri.”
Dari Jalan Desa ke Jalan Harapan
Program TMMD telah berjalan sejak 1980-an dan kini terus diperluas ke daerah-daerah tertinggal. Tahun 2024, lebih dari 50 kabupaten menjadi lokasi pelaksanaan, fokus pada pembangunan jalan, jembatan, serta fasilitas sosial.
Menurut data Kementerian Pertahanan (2024), sepanjang lima tahun terakhir, TMMD telah membuka lebih dari 2.500 kilometer jalan desa dan memperbaiki 900 jembatan kecil. Bagi warga desa seperti Long Midang, angka itu bukan sekadar statistik, tetapi perubahan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
“Sekarang hasil kebun bisa diangkut pakai motor, tidak perlu dipikul lagi,” kata Lukman (29), petani muda yang baru pertama kali ikut bekerja dengan TNI. “Kami belajar bahwa membangun itu tidak harus menunggu, bisa dimulai bersama.”
Laut Sebagai Halaman Depan
Sementara di sudut lain negeri, semangat gotong royong yang sama terasa di Desa Bajo Indah, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Di kampung nelayan itu, matahari pagi menyinari perahu-perahu kecil yang bersandar di dermaga baru hasil kerja bersama warga dan TNI Angkatan Laut melalui program Kampung Bahari Nusantara (KBN).
“Dulu kalau ombak besar, kapal kami sering rusak karena dermaga kayu tidak kuat,” ujar Nuraini (42), nelayan sekaligus ketua kelompok perempuan pesisir. “Sekarang dermaga sudah bagus, ada tempat jual ikan juga.”
Program KBN tidak hanya membangun fisik pelabuhan, tetapi juga menghadirkan pelatihan ekonomi dan konservasi laut. Para nelayan kini belajar cara membuat es balok sendiri, mengolah ikan menjadi abon dan keripik, hingga memasarkan produk lewat media sosial.
“Pendapatan kami naik hampir dua kali lipat sejak ikut pelatihan,” kata Nuraini. “Anak-anak muda sekarang tidak perlu merantau ke kota, karena di laut pun ada masa depan.”
Menyulam Darat dan Laut
Program TMMD dan KBN punya wajah yang berbeda — satu bekerja di pedalaman, satu di pesisir — namun keduanya berangkat dari semangat yang sama: membangun dari pinggiran. Keduanya menunjukkan bahwa pembangunan tidak selalu datang dari pusat, tapi bisa tumbuh dari bawah ketika masyarakat dilibatkan langsung.
“Pembangunan berbasis partisipasi masyarakat jauh lebih berkelanjutan,” ujar Rahmawati Ningsih, peneliti kebijakan publik di Jakarta. “Warga yang ikut membangun cenderung lebih menjaga hasilnya, karena merasa memiliki.”
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan bahwa di daerah yang mendapat intervensi program terpadu seperti TMMD dan KBN, indeks pembangunan desa meningkat rata-rata 0,12 poin lebih tinggi dibanding wilayah sejenis. Artinya, keterlibatan sosial memiliki dampak nyata terhadap kesejahteraan.
Desa yang Tak Lagi Sendiri
Menjelang sore, jembatan di Long Midang tinggal menunggu pengecoran akhir. Anak-anak berlarian di sekitar lokasi, sementara prajurit dan warga duduk bersama menikmati kopi hitam di pinggir sungai.
“Kalau nanti selesai, kami mau kasih nama Jembatan Persahabatan,” kata Martinus sambil tersenyum. “Karena ini dibangun dengan tangan semua orang.”
Di sisi lain, di Desa Bajo Indah, perahu-perahu kecil mulai berangkat melaut. Nuraini melambai dari dermaga baru yang kini berdiri kokoh. “Kami tidak lagi takut ombak,” katanya. “Laut ini bukan lagi batas, tapi jalan menuju masa depan.”
Dari pegunungan hingga pesisir, kisah seperti ini berulang di banyak tempat. Bukan tentang proyek besar atau angka-angka anggaran, melainkan tentang orang-orang biasa yang bekerja bersama, saling percaya, dan membangun sesuatu yang lebih dari sekadar beton atau papan: rasa kebersamaan.










