Pergantian lima menteri pada reshuffle kabinet September 2025 memang terjadi di Jakarta, tapi riaknya terasa hingga ke desa. Sri Mulyani yang selama ini dianggap penjaga stabilitas ekonomi diganti dengan Purbaya Yudhi Sadewa. Bagi warga desa, perubahan itu tidak langsung dipahami sebagai soal loyalitas atau kompetensi. Yang mereka rasakan nyata hanyalah harga pupuk naik, biaya sewa traktor bertambah mahal, dan tengkulak semakin kuat menentukan harga gabah. Ketika rupiah melemah ke Rp16.200 per dolar dan harga kebutuhan pokok melonjak, petani dan pedagang pasar desa jadi garda pertama yang menanggung dampaknya.
Sementara itu, revisi Undang-Undang TNI di Maret 2025 memperluas peran militer ke ranah sipil. Di desa-desa, perubahan itu tampil lebih kasat mata. Babinsa kini tidak hanya hadir di pos keamanan, tetapi juga ikut terlibat dalam program digitalisasi desa, pengawasan dana desa, hingga koordinasi penanganan bencana. Sebagian warga merasa terlindungi, apalagi ketika demonstrasi di kota besar membuat situasi tidak menentu. Namun, sebagian lain curiga: jangan-jangan militer kembali masuk terlalu jauh ke ruang sipil, mengulang pola lama Orde Baru. Bagi Prabowo, kehadiran TNI di desa menjadi modal politik: ia punya benteng sampai ke lini terdepan kehidupan masyarakat.
Banyak pihak kepentingan sindikasi politik membaca celah ini. Narasi “TNI ancaman demokrasi” yang digaungkan aktivis liberal pro-Barat dan kelompok ideologis lain, berusaha dihidupkan lewat jaringan mahasiswa dan LSM yang kadang masuk ke desa-desa untuk advokasi isu lingkungan atau hak petani. Di sisi lain, oligarki ekonomi yang merasa terganggu—dari sawit, tambang, sampai bisnis gelap judi online—menyusup lewat program CSR, hiburan rakyat, bahkan uang cepat untuk perangkat desa. Pola yang dibangun sederhana: menggerus kepercayaan warga pada negara, sekaligus menumbuhkan narasi bahwa TNI hanya mempersempit ruang hidup rakyat.
Bagi elite politik oportunis, desa adalah barometer. Mereka tahu, bila suara di akar rumput bisa dipengaruhi, legitimasi Prabowo akan goyah. Karena itu, media nasional ramai memberitakan “TNI dalang kerusuhan” atau “militerisasi politik” agar isu ini merembes sampai ke warung kopi desa. Di situlah percakapan-percakapan kecil bisa berubah menjadi keraguan besar: apakah negara ini masih di jalur demokrasi, atau kembali ke tangan militer?
Efek domino politik pun terbaca jelas. Jika TNI solid dan tetap dipercaya, warga desa akan merasa tenang. Mereka tidak peduli dengan dinamika politik tingkat tinggi selama sawah bisa ditanami, harga gabah stabil, dan jalan desa diperbaiki. Tapi jika TNI ikut diguncang isu delegitimasi, desa-desa akan merasakan kekosongan otoritas. Aparat desa kebingungan, Babinsa diragukan, dan celah itu dimanfaatkan oleh kepentingan sindikasi kepentingan politik untuk menguatkan narasi krisis legitimasi.
Skenarionya terbagi dua. Pertama, jika TNI, birokrasi, dan jaringan relawan desa tetap solid, maka Prabowo bisa tampil sebagai presiden kuat, stabilisator yang bahkan mampu menjaga desa dari gejolak politik kota. Kedua, bila ekonomi makin goyah dan oposisi sukses menggerus citra TNI, desa menjadi titik awal retakan legitimasi. Polarisasi tajam bisa masuk sampai ke ruang-ruang musyawarah desa, dan transisi cepat ala Habibie–Suharto bukan lagi wacana elit, tapi percakapan sehari-hari warga.
September 2025 dengan begitu menjadi bukan sekadar babak politik di Senayan, melainkan juga momentum yang menentukan arah kehidupan desa. Ekonomi yang rapuh, TNI yang dilekatkan sebagai penjaga, dan oposisi yang mencari celah, semua bertemu di ruang nyata tempat mayoritas rakyat hidup. Di sanalah masa depan republik dipertaruhkan: apakah desa menjadi benteng stabilitas kekuasaan, atau justru ladang bagi lahirnya krisis legitimasi baru.