Home / Cakrawala / Politik Desa / Panglima Desa: Saat Rakyat Menjadi Oposisi Terakhir

Panglima Desa: Saat Rakyat Menjadi Oposisi Terakhir

Kemarahan publik di Pati atas kenaikan PBB 250 persen bukan sekadar soal angka dalam kuitansi pajak. Itu adalah letupan dari perasaan ditinggalkan, diremehkan, bahkan ditantang oleh seorang kepala daerah yang berkata lantang: “Mau 5.000 atau 50.000 orang protes, saya tidak akan mundur.” Kata-kata itu terbukti menjadi bumerang. Lebih dari 100 ribu orang turun ke jalan, membawa poster, melempar batu, hingga memaksa DPRD setempat membuka pintu untuk wacana pemakzulan.

Fenomena ini tak berdiri sendiri. Dari Cirebon hingga Banyuwangi, isu pajak daerah yang melonjak memicu keresahan serupa. Kasus Pati hanyalah episentrum, dan bisa dengan cepat menjadi simbol penolakan nasional terhadap gaya kepemimpinan yang arogan. Inilah wajah nyata demokrasi Indonesia: ketika institusi politik pusat membungkam, rakyat daerah bangkit menjadi oposisi terakhir.

Namun, ada dinamika lain yang tak kalah menarik. Di Jakarta, menjelang HUT RI ke-80, muncul “bendera perlawanan” baru: bendera bajak laut ala One Piece dikibarkan di bawah Merah Putih. Simbol kartun ini bukan sekadar fandom anak muda. Ia menjelma menjadi medium aman untuk menyuarakan resistensi terhadap kekuasaan yang kian sentralistik di bawah Presiden Prabowo. Pop culture menjadi politik, karena bahasa simbol lebih sulit ditangkap sensor.

Menurut mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo, terdapat 18 kebijakan kontroversial dalam tahun pertama Prabowo yang diduga sebagai bentuk sabotase struktural. Dari kenaikan PPN, kelangkaan gas melon, hingga isu tanah nganggur dan blokir rekening massal, semua menciptakan kegaduhan publik. Apa akibatnya? Legitimasi presiden digerus bukan hanya oleh oposisi resmi—yang praktis lumpuh di Senayan—tetapi oleh kegelisahan rakyat yang disulut oleh kebijakan dan komunikasi elite yang sembrono.

Kasus Pati memberi kita miniatur: rakyat bisa memaksa DPRD mengaktifkan hak angket untuk menguji jalan pemakzulan. Dalam konteks nasional, mekanisme serupa tersedia. Konstitusi memang memberi rambu ketat: dua pertiga suara dewan, uji materi di Mahkamah Agung, hingga keputusan Presiden melalui Mendagri. Namun, sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan rakyat sering mendahului mekanisme hukum.

Di titik ini, kita menyaksikan “politik dua jalur”. Jalur formal diisi oleh lembaga negara yang kerap gamang, sementara jalur informal ditempuh rakyat dengan simbol, protes jalanan, hingga satir budaya populer. Jika keduanya berkelindan, lahirlah gelombang perubahan yang sulit dihentikan.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, pemerintah—baik pusat maupun daerah—harus memahami bahwa komunikasi publik bukan aksesori. Kata-kata seorang pemimpin bisa menyalakan api, bahkan lebih cepat dari kebijakan itu sendiri. Kasus Sudewo membuktikan, satu kalimat bisa menjadi pemicu legitimasi runtuh.

Kedua, rakyat harus terus kritis namun cerdas. Memprotes pajak atau kebijakan yang tidak adil adalah hak konstitusional, tetapi harus dikawal dengan kanal legal agar tidak jatuh pada kekerasan. Memakai simbol One Piece atau satir budaya populer adalah contoh kreatif bagaimana perlawanan bisa disuarakan tanpa harus selalu berbenturan secara frontal.

Ketiga, elite politik di Senayan mesti sadar: dengan semua partai kini berada dalam lingkaran kekuasaan, oposisi sejati justru lahir di jalanan. Jika parlemen terus gagal menjalankan fungsi kontrol, maka rakyat akan mengambil alih panggung oposisi dengan segala risiko instabilitasnya.

Inspirasi dari Gelombang Saat Ini

Kita perlu membaca fenomena ini bukan sekadar sebagai krisis, melainkan sebagai peringatan. Bahwa demokrasi Indonesia masih hidup—meski dengan cara yang tak terduga. Dari bendera One Piece hingga teriakan warga Pati, rakyat sedang mengingatkan: kekuasaan hanyalah mandat, bukan hak milik.

Jika pemerintah belajar, transparansi dan partisipasi bisa dipulihkan. Jika tidak, maka “sabotase struktural” yang dikhawatirkan oleh sebagian pihak bisa justru datang bukan dari menteri atau oposisi, melainkan dari rakyat sendiri yang muak ditinggalkan.

Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia akan ditentukan oleh sejauh mana pemimpin mendengar suara rakyat sebelum rakyat memutuskan untuk benar-benar menjadi oposisi terakhir.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *