Home / Cakrawala / Sosial Desa / Panglima Desa dan Kebangkitan Desa Gerbang Emas

Panglima Desa dan Kebangkitan Desa Gerbang Emas

Indonesia sedang memasuki babak baru dalam perjalanan bangsa: krisis global, ketidakpastian ekonomi, dan derasnya arus digitalisasi menuntut fondasi sosial yang lebih kokoh. Fondasi itu ada di desa—bukan hanya sebagai unit administratif negara, melainkan sebagai episentrum ketahanan moral, ekonomi, dan budaya. Di sinilah lahir konsep Panglima Desa, figur kepemimpinan non-birokratis yang berperan sebagai penjaga nilai, penggerak ekonomi, sekaligus penguat budaya.

Berbeda dengan kepala desa yang berfungsi administratif, Panglima Desa adalah roh kepemimpinan desa. Ia hadir bukan untuk memerintah, melainkan untuk mengayomi. Ia adalah simbol keteladanan, pemersatu, dan penggerak rakyat. Dalam banyak contoh inspiratif, seperti Syarif Maulana di Bogor yang membangun integrași Kelompok Tani dan Ternak untuk membantu terpenuhinya bahan baku daging dan susu untuk Makan Bergizi Gratis, Nofian di pesisir Lombok yang mengadvokasi dan membangunkan koperasi untuk nelayan melawan tengkulak, atau Lafran Toha di Ambon yang menghidupkan kembali pela gandong sebagai solidaritas ekonomi dan budaya, Panglima Desa menunjukkan bahwa kepemimpinan moral bisa membangkitkan kemandirian desa.

Gagasan ini sejalan dengan visi Desa Gerbang Emas (Gerakan Bangun Ekonomi Masjid) yang saat ini diperjuangkan para pimpinan BKPRMI dari pusat sampai daerah. Desa Gerbang Emas mengajarkan pentingnya desa berdiri di atas kekuatan ekonomi lokal: koperasi, UMKM, kelompok tani, dan nelayan. Namun Desa Gerbang Emas tidak boleh sekadar berhenti pada angka-angka pertumbuhan. Ia harus berpadu dengan gerakan Satu Desa Satu Muzakki yang digagas oleh Sudian Noor di Tanah Bumbu Kalimatan Selatan. Sebagai peletak batu transformasi spiritual dari mustahik menjadi muzakki yang terbukti mampu menghadirkan desa yang bermartabat dengan pemberdayaan ekonomi. Dengan kata lain, keberhasilan desa tidak hanya diukur dari seberapa banyak hasil panen atau ekspor, tetapi juga dari seberapa banyak warganya naik kelas menjadi pemberi manfaat bagi sesama.

Sinkronisasi inilah yang membuat Panglima Desa menjadi Patriot Desa yang lengkap. Ia tidak hanya menjaga logistik pangan, tetapi juga membina etika berbagi melalui zakat, infak, dan sedekah produktif. Ia memastikan koperasi desa tidak jatuh ke tangan elit, melainkan benar-benar menjadi wadah gotong royong modern. Ia merawat budaya lokal, dari sedekah bumi di Jawa hingga pela gandong di Maluku, agar zakat dan kedermawanan menjadi bagian dari identitas budaya, bukan hanya ritual agama.

Model ini memberi arah baru bagi para Kepala Desa yang berjiwa Patriot dan Mandiri. Desa yang kokoh secara ekonomi (Desa Gerbang Emas), berdaya secara spiritual (Satu Desa Satu Muzakki), dan hidup dalam harmoni budaya (Panglima Desa). Di era ketika kota sering rapuh oleh polarisasi politik dan ketergantungan impor, desa justru tampil sebagai benteng terakhir kedaulatan bangsa. Saat desa kuat, Indonesia tidak mudah diguncang.

Siapa kita .. ?
Panglima Desa bukan pejabat, bukan birokrat, dan bukan milisi. Ia adalah simbol kepemimpinan moral yang cair, fleksibel, dan melekat pada jati diri setiap desa. Dengan Panglima Desa sebagai pengayom, Desa Gerbang Emas sebagai kerangka ekonomi, dan Gerakan Satu Desa Satu Muzakki sebagai fondasi spiritual, desa Indonesia dapat bangkit sebagai poros ketahanan nasional dan pusat kebangkitan budaya bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *