Home / Cakrawala / Politik Desa / Merdeka dari Sawah dan Laut: Suara Desa untuk Indonesia

Merdeka dari Sawah dan Laut: Suara Desa untuk Indonesia

Hari ini bendera merah putih kembali berkibar di lapangan desa. Anak-anak sekolah berbaris, petani melepas caping sejenak, nelayan menambatkan perahu lebih pagi. Semua ikut hormat, semua ikut bangga. Tujuh belas Agustus bukan sekadar peringatan sejarah, tetapi tanda bahwa kita masih berdiri sebagai bangsa merdeka.

Namun, merdeka bukan hanya soal lepas dari penjajahan masa lalu. Merdeka juga berarti berani berdiri di atas kaki sendiri hari ini. Bagi petani, itu berarti bisa menanam padi tanpa takut harga pupuk melambung. Bagi nelayan, itu berarti bisa melaut tanpa resah harga solar. Bagi ibu-ibu di pasar, itu berarti bisa belanja beras, ikan, dan minyak goreng tanpa deg-degan menunggu harga naik.

Indonesia sekarang memang sering disebut dunia sebagai negara besar, calon pemimpin di Asia Tenggara. Tapi kita tahu, kekuatan itu rapuh jika pangan kita masih bergantung pada impor, dan jika rupiah mudah goyah oleh arus modal asing. Karena itu, desa dan laut tidak boleh dipandang sebelah mata. Justru di situlah kunci kemandirian bangsa.

Program Marine-Based Granary (MBG) yang mulai dijalankan di desa-desa pesisir bisa jadi jalan keluar. Bayangkan desa nelayan bukan hanya tempat perahu bersandar, tetapi juga gudang pangan darurat yang menyimpan beras, ikan, dan garam. Bayangkan desa sungai jadi pusat logistik yang menyalurkan hasil bumi ke kota saat jalur besar terganggu. Desa menjadi benteng pertama saat badai global datang.

Tiga tahun ke depan tantangan akan makin berat: harga pangan bisa melonjak, rupiah bisa tertekan, bahkan jalur perdagangan bisa terganggu oleh konflik. Tapi desa-desa yang kuat dan mandiri bisa menjaga rakyat tetap makan. Sawah, laut, sungai, dan ladang adalah dapur besar yang bisa menyelamatkan bangsa.

Di tengah semua itu, ada satu kekuatan yang sering luput diperhitungkan: pemuda masjid. Hampir di setiap desa di Indonesia, pemuda masjid hadir sebagai penggerak kegiatan sosial, pendidikan agama, olahraga, hingga ekonomi kecil. Mereka menjaga semangat kebersamaan, menguatkan akhlak generasi muda, sekaligus melatih kepemimpinan sejak dini. Dari pengajian, turnamen bola, kerja bakti, hingga program santunan, pemuda masjid telah lama menjadi “sekolah karakter” yang membentuk generasi tangguh dalam iman, ilmu, dan amal. Ketika pemuda desa bersatu lewat masjid, mereka bukan hanya meramaikan ibadah, tetapi juga merawat masa depan bangsa.

Maka di Hari Kemerdekaan ini, mari kita isi kemerdekaan dengan kerja nyata: menanam di halaman kosong, membeli hasil tetangga sendiri, mendukung koperasi, menjaga laut dari pencemaran, menghidupkan semangat gotong royong, dan memperkuat peran pemuda masjid sebagai penopang moral dan sosial desa. Karena merdeka sejati adalah ketika rakyat desa tidak takut lapar, generasi mudanya berkarakter kuat, dan dapur rakyat tetap mengepul meski dunia dilanda badai.

Bendera yang kita kibarkan hari ini bukan hanya simbol masa lalu. Ia adalah janji bersama: bahwa Indonesia akan berdiri tegak dari sawah, dari ladang, dari sungai, dari laut, dan dari masjid-masjid desa tempat generasi ditempa. Dari desa-desa itulah kemerdekaan menemukan makna yang sesungguhnya.

Naik sampan ke tepi rawa,
Menjala ikan saat senja tiba.
Merdeka bukan hanya kata,
Tapi makan cukup di meja kita.

“Sawah ladang milik sendiri, dapur takkan berhenti berasap.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *