Setiap pagi, sebelum matahari naik dari balik bukit dan memantulkan sinarnya ke pucuk-pucuk pohon jati, aku sudah berdiri di ujung sawah. Di sanalah aku memulai hariku—bukan sekadar rutinitas, tapi sebuah pengingat. Aku memandangi ufuk timur, menyambut cahaya yang pertama kali menembus embun pagi. Bagiku, matahari bukan sekadar benda langit. Ia adalah guru yang tak pernah berbicara, tapi selalu memberi pelajaran. Ia muncul tepat waktu, tak peduli siapa yang menyaksikannya. Ia bersinar tanpa menunggu pujian. Dan yang paling aku kagumi: ia tetap memberi manfaat, meski tak selalu disadari.
Sebagai panglima desa, sebuah sebutan sederhana yang disematkan oleh warga karena aku sering terlibat dalam pembangunan dan kegiatan sosial, aku merasa hidupku ada dalam jalur yang sama dengan sang surya. Tak ada jabatan resmi. Tak ada gaji bulanan. Tapi selalu ada dorongan dari dalam untuk terus bergerak, membantu, dan menghidupkan apa yang bisa dihidupkan di desa ini. Aku tidak membangun jembatan besar atau menciptakan teknologi canggih. Tapi aku hadir saat ada warga yang tak bisa bayar sekolah anaknya. Aku mengetuk pintu demi pintu ketika ada ibu-ibu hamil yang butuh pemeriksaan kesehatan. Aku ikut mengaduk semen ketika mushola butuh direnovasi. Dan di setiap peluh yang menetes, aku selalu teringat matahari—yang memberi tanpa bertanya apakah yang menerima akan berterima kasih.
Aku tahu, tidak semua orang melihat. Tidak semua orang peduli. Bahkan tidak sedikit yang salah paham. Ada yang bilang aku cari muka, ingin jadi orang penting. Tapi aku tak berhenti. Karena matahari pun tetap bersinar meski tertutup awan, tetap menghangatkan bumi walau kadang dikira tak ada. Ia tidak mengeluh, tidak menuntut. Ia hanya melakukan tugasnya dengan konsisten dan tanpa pamrih. Secara ilmiah, sinar matahari menempuh jarak hampir 150 juta kilometer ke Bumi dalam waktu hanya delapan menit lebih. Tanpa jeda, tanpa henti. Dan selama miliaran tahun, ia terus menjadi sumber energi bagi seluruh kehidupan. Tak peduli apakah manusia menyadari jasanya atau tidak.
Kadang aku lelah, tentu saja. Ada hari di mana tubuh ingin menyerah, ketika pekerjaan sosial tak dihargai, ketika suara-suara sinis terdengar lebih keras daripada ucapan terima kasih. Tapi seperti matahari, aku memilih untuk terus muncul setiap pagi. Aku percaya, kebaikan tidak harus diumumkan. Ia cukup dilakukan. Karena manfaat sejati tidak diukur dari jumlah sorotan, tapi dari seberapa besar ia membantu kehidupan orang lain. Dan semakin aku menjalani peran ini, semakin aku menyadari bahwa menjadi bermanfaat itu bukan beban—justru di sanalah letak kepuasannya.
Suatu pagi, setelah selesai membersihkan halaman balai desa, seorang anak kecil menghampiriku. Ia menatapku dan berkata dengan polos, “Om, aku mau kayak Om nanti, jadi panglima desa. Aku juga mau bantu orang-orang” Aku terdiam. Kata-kata sederhana itu menghantam sesuatu dalam dadaku. Mungkin benar, kita tidak selalu dihargai saat ini, tapi kebaikan yang konsisten bisa menjadi warisan. Bukan harta, tapi jejak. Bukan nama besar, tapi inspirasi yang bisa menyalakan nyala di hati generasi berikutnya.
Aku belajar bahwa setiap pagi adalah kesempatan baru. Setiap terbitnya matahari adalah panggilan untuk kembali memberi. Tidak harus besar, tidak harus sempurna. Yang penting nyata. Dunia tidak butuh lebih banyak orang yang ingin terlihat hebat. Dunia butuh lebih banyak orang yang mau hadir, bekerja dalam diam, dan menyinari sekitar tanpa menuntut imbalan. Seperti matahari yang terus bersinar — sendiri, tanpa suara, tapi menopang seluruh kehidupan.Jadi, jika kau lelah karena merasa usahamu tak dihargai, ingatlah satu hal :
Matahari pun tak pernah dipuji oleh langit, tapi tanpanya, bumi kehilangan hidupnya. Tidak untuk dilihat—tapi untuk menerangi.
Semangat pagi untuk semua relawan hebat diseluruh pelosok negeri, teruslah berjalan. Teruslah bersinar. Jadilah cahaya bagi sekitarmu. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu dengan Surga.