Home / Cakrawala / Politik Desa / Membangun Indonesia dari Akar Rumput

Membangun Indonesia dari Akar Rumput

Di tengah dunia yang terus bergolak—mulai dari ancaman resesi global, tarif proteksionis ala Trump, hingga krisis pangan akibat disrupsi rantai pasok internasional—Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan kekuatan pusat semata. Di sinilah peran desa muncul sebagai poros baru ketahanan nasional. Presiden Prabowo Subianto lewat visi besar ASTACITA mencoba menjawab tantangan ini dengan cara membalik arah pembangunan: dari pusat ke pinggiran, dari elit ke rakyat, dari negara ke desa.

Namun di balik semua itu, masyarakat masih menyimpan keraguan. Program-program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Danantara, dan penguatan Koperasi Merah Putih (KDMP) seringkali dianggap belum menyentuh kehidupan rakyat secara nyata. Sebagian besar media arus utama belum memberikan dukungan naratif yang kuat terhadap keberhasilan pemerintahan, sehingga persepsi publik pun terombang-ambing antara optimisme dan keraguan. Di ruang-ruang digital, program pemerintah seringkali dilihat hanya sebagai proyek pencitraan, bukan solusi substansial.

Padahal di lapangan, terdapat langkah-langkah konkret yang menunjukkan arah perubahan. TNI, melalui pendekatan manunggal bersama rakyat, tidak hanya bertugas dalam operasi militer, tetapi juga menjadi penggerak sosial di desa. Melalui program TMMD, rehab rumah tidak layak huni (RLTH), dan keterlibatan dalam logistik pangan, TNI menjadi mitra kepala desa dan koperasi dalam memperkuat ketahanan sipil. Bahkan, Federal Constabulary yang diperkuat, diarahkan untuk menjadi tempat pengkaderan pemuda desa yang terlatih dan patriotik—siap menjaga logistik, menghadapi bencana, dan melindungi kedaulatan pangan lokal.

Ketidakpastian yang dirasakan masyarakat terhadap capaian pemerintahan tidak lepas dari minimnya informasi publik, narasi yang terpecah, serta belum jelasnya dampak langsung dari kebijakan terhadap kehidupan sehari-hari. Namun, strategi pembangunan dari desa—dengan desa sebagai pusat produksi, koperasi sebagai komando sosial-ekonomi, dan TNI sebagai pengayom komunitas—menjadi jawaban jangka panjang atas keraguan tersebut. Ini bukan sekadar respons terhadap krisis, tapi reposisi strategis terhadap masa depan bangsa.

Tak hanya itu, publik juga mencermati sinergitas antar lembaga negara. Kejaksaan, misalnya, mulai dipandang sebagai institusi yang berani mengusut mafia ekonomi dan memperkuat supremasi hukum di daerah. Namun, tantangan tetap ada: bagaimana agar reformasi hukum tidak hanya tajam ke bawah, tapi juga berani menyentuh akar oligarki. Di sisi lain, potensi reshuffle kabinet dianggap sebagai peluang emas untuk mempercepat konsolidasi loyalitas politik dan menyusun kembali struktur eksekusi kebijakan yang lebih adaptif terhadap dinamika desa dan akar rumput.

Kini, kunci keberhasilan ASTACITA bukan hanya pada ketepatan kebijakan, tapi juga pada kemampuan pemerintah membangun narasi bersama rakyat. Ketika kepala desa, koperasi, Babinsa, dan masyarakat bergerak dalam satu irama, desa tak hanya menjadi episentrum ketahanan nasional, tetapi juga benteng terakhir kedaulatan. Jika pemerintahan mampu menjawab keraguan publik melalui kerja nyata dan komunikasi yang menyentuh, maka bukan tidak mungkin desa akan kembali menjadi jantung Indonesia Raya—kuat, berdaulat, dan berakar dalam semangat gotong royong.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *