Sebagai Bentuk Cinta Seorang Pendukung Setia yang Ingin Meluruskan Arah Perjuangan Budaya
Kepada Yth. Kang Dedi Mulyadi, Tokoh Budaya dan Pemimpin yang Kami Cintai dan Hormati
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Terlebih dahulu, izinkan saya menyampaikan rasa hormat dan cinta yang tulus kepada Kang Dedi, sebagai seorang tokoh yang selama ini saya kagumi dan ikuti jejaknya. Saya, Kang Alan, bagian dari komunitas Panglima Desa Jawa Barat, menulis surat ini bukan karena ingin menggurui, apalagi menyerang. Tapi justru karena saya peduli, dan karena saya percaya, Kang Dedi adalah orang yang hatinya masih dekat dengan suara rakyat kecil dan akar budayanya sendiri.
Tentang Nama Rumah Sakit Al Ihsan
Saya memahami bahwa Kang Dedi tengah mendorong perubahan nama Rumah Sakit Al Ihsan menjadi Rumah Sakit Welas Asih. Sekilas ini tampak sebagai bentuk penghormatan terhadap bahasa dan nilai lokal. Tapi izinkan saya menyampaikan kegelisahan: perubahan ini, bagi saya, adalah sebuah kekeliruan yang bisa berdampak besar terhadap arah budaya dan spiritualitas masyarakat kita.
Kata Al Ihsan bukanlah sekadar istilah bahasa Arab. Itu adalah nilai tertinggi dalam ajaran Islam. Dalam hadis Nabi, ihsan didefinisikan sebagai beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Ini bukan sekadar makna “berbuat baik”, tapi sebuah kesadaran ilahiah dalam setiap tindakan.
Mengganti “Al Ihsan” dengan “Welas Asih” — yang memang punya arti kasih sayang dalam budaya Sunda — bisa saja dianggap penyederhanaan makna. Tapi justru di situlah letak persoalannya: makna spiritual yang dalam diringkas menjadi sekadar nilai moral universal. Ini bukan sekadar perubahan nama, tapi perubahan arah nilai.
Budaya Sunda Itu Islami, Bukan Sekuler
Kang Dedi,
Sebagai orang yang lahir, tumbuh, dan besar di tanah Sunda, saya paham betul: Islam dan budaya Sunda tidak pernah bertentangan. Justru nilai-nilai Islam seperti tawadhu, silih asah, silih asih, dan silih asuh, hidup dalam falsafah hidup urang Sunda.
Kalau hari ini ada anggapan bahwa istilah keislaman seperti “Al Ihsan” terasa asing atau tidak sesuai budaya lokal, maka itu adalah tanda bahwa kita sedang terlepas dari akar sejarah kita sendiri.
Apakah kita akan terus menghapus simbol-simbol Islam dari ruang publik demi dianggap “inklusif” atau “budaya lokal”? Kalau nama rumah sakit bisa diganti, nanti apa lagi? Nama pesantren? Nama masjid? Ini bukan paranoid, tapi kekhawatiran yang beralasan.
Solusi Bukan Menghapus, Tapi Menyatukan
Saya percaya Kang Dedi adalah pribadi yang bijak. Karena itu saya tidak datang dengan protes, tapi dengan solusi. Kenapa tidak kita padukan saja?
Contoh:
RSUD Al Ihsan – Pusat Pelayanan Welas Asih
atau
RS Al Ihsan (Rumah Sehat Berbasis Welas Asih)
Dengan begitu, makna spiritual tetap dijaga, dan rasa lokal tetap dirangkul. Kita tidak perlu mengorbankan satu untuk membesarkan yang lain. Justru budaya dan agama bisa jalan bersama.
Saya Ingin Bertemu dan Berdiskusi Langsung
Kang Dedi,
Kalau Kang bersedia, saya sangat berharap bisa bertemu dan berdiskusi langsung. Saya sebagai bagian yang pernah membersamai kang Dedi dalam kontestasi politik. Bukan untuk berdebat, tapi untuk bertukar rasa dan pikiran. Saya ingin menyampaikan langsung suara dari bawah — suara dari masyarakat desa, dari pejuang kebudayaan yang hidup dan bergumul dengan rakyat setiap hari.
Kita semua ingin budaya hidup, tapi jangan sampai roh agama sebagai jiwa budaya itu sendiri terlepas dari tubuhnya. Mari kita bicarakan ini tidak hanya dengan akal, tapi juga dengan hati.
Terakhir Kang Dedi ..
Sebagai tokoh yang selama ini saya banggakan, saya percaya Kang Dedi akan mempertimbangkan semua ini dengan arif. Mari kita jaga budaya dan spiritualitas masyarakat Sunda agar tidak tercerabut dari akarnya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hormat saya,
Kang Alan
Tokoh Komunitas Panglima Desa Jawa Barat
Penjaga Nilai.. Pendukung Setia Kang Dedi