Indonesia dikenal sebagai negeri dengan kekayaan budaya yang luar biasa: tarian tradisional, upacara adat, pakaian daerah, dan kriya lokal tersebar dari Sabang sampai Merauke. Namun di balik gemerlap industri pariwisata, muncul persoalan serius: komodifikasi budaya. Budaya lokal dipermak, dikemas, dan dijual untuk konsumsi turis, seringkali tanpa memperhatikan nilai-nilai sakral yang melekat di dalamnya—nilai yang dalam konteks Indonesia sangat dipengaruhi oleh agama, khususnya Islam.
Budaya Bukan Sekadar Atraksi
Banyak tradisi budaya di Indonesia lahir dari nilai-nilai religius. Tarian seperti Saman dari Aceh, misalnya, bukan hanya seni pertunjukan, tapi juga sarana dakwah. Tarian ini menggambarkan nilai persatuan, kekompakan, dan spiritualitas yang kuat. Namun, dalam versi pariwisata, Saman sering dipotong durasinya, dikoreografi ulang, dan dipertontonkan di luar konteks sakralnya. Esensinya sebagai ekspresi nilai ketuhanan dan kebersamaan pun tergerus.
Hal serupa terjadi pada upacara adat, seperti Sekaten di Yogyakarta yang sejatinya adalah bagian dari perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun dalam beberapa tahun terakhir, unsur religi dikesampingkan demi menjadikannya “festival budaya” yang lebih netral dan menarik bagi wisatawan asing. Ini bukan hanya soal perubahan bentuk, tapi perubahan makna.
Kriya: Dari Filosofi ke Produksi Massal
Kerajinan tangan seperti batik, songket, dan ukiran kayu adalah ekspresi filosofi dan kepercayaan. Batik tulis klasik, misalnya, memiliki motif yang tidak hanya estetis tetapi juga sarat makna spiritual. Motif Parang Rusak, misalnya, melambangkan kekuatan melawan kejahatan dan menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan.
Namun dalam tekanan pasar pariwisata massal, perajin dipaksa menyesuaikan diri. Batik cap dan printing diproduksi dalam skala besar tanpa memperhatikan filosofi motif. Produk kriya kehilangan jiwa; hanya menjadi souvenir murah tanpa cerita.
Komunitas Adat Kehilangan Kendali
Yang paling menyedihkan: masyarakat pemilik budaya kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Mereka hanya jadi pelaku pasif, bukan subjek budaya. Hak atas narasi budaya mereka sendiri diambil alih oleh pihak luar—pemerintah, agen pariwisata, atau investor—yang lebih peduli pada keuntungan daripada makna.
Ketuhanan dalam Budaya Lokal
Budaya Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Islam. Nilai-nilai seperti tauhid, akhlak, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap ciptaan Tuhan menyatu dalam berbagai ekspresi budaya lokal. Sayangnya, nilai-nilai ketuhanan ini terancam hilang ketika budaya hanya dipandang sebagai “produk hiburan”.
Contohnya, dalam budaya Bugis, upacara mappacci (ritual menjelang pernikahan) mengandung doa-doa Islami dan simbol pembersihan jiwa. Namun ketika dimodifikasi untuk turis, elemen doanya dihapus, tinggal sisanya yang eksotis secara visual.
Menuju Pariwisata yang Beretika
Jika budaya adalah amanah, maka memperdagangkannya tanpa izin dan tanpa rasa hormat adalah bentuk pengkhianatan. Pariwisata seharusnya menjadi sarana penguatan budaya, bukan penghisapan makna. Maka perlu ada pendekatan yang lebih etis dan spiritual, berakar pada prinsip-prinsip ketuhanan:
- Pelibatan komunitas adat secara aktif dalam kurasi budaya.
- Transparansi dalam interpretasi budaya, agar wisatawan memahami konteks spiritual dan nilai yang terkandung.
- Edukasi wisatawan, bukan hanya menghibur mereka.
- Penguatan ekonomi lokal tanpa mengorbankan integritas budaya.
Budaya lokal Indonesia bukan sekadar warisan, tetapi jalan hidup yang sarat nilai-nilai ilahiah. Mengubahnya jadi tontonan tanpa makna bukan hanya soal eksploitasi ekonomi, tetapi juga bentuk pemiskinan spiritual. Di tengah gempuran pariwisata massal, saatnya kembali meneguhkan budaya sebagai ekspresi dari nilai ketuhanan, bukan sekadar komoditas.