Home / Cakrawala / Sosial Desa / “Satu Desa Satu Muzakki”: Gerakan Para Panglima Desa untuk Kebangkitan Umat

“Satu Desa Satu Muzakki”: Gerakan Para Panglima Desa untuk Kebangkitan Umat

Di tengah kemunduran solidaritas sosial dan makin lebarnya jurang kemiskinan, muncul secercah harapan dari tempat yang tak terduga: desa. Bukan dari gedung parlemen atau menara-menara kota besar, melainkan dari para kepala desa pelopor—para pemimpin lokal yang mulai disebut oleh rakyat sebagai “Panglima Desa”. Mereka tidak menunggu bantuan dari pusat, tidak bersandar pada APBD, melainkan menggali kekuatan dari nilai luhur Islam dan kemandirian komunitas. Dari tangan-tangan para Panglima Desa inilah lahir gagasan besar yang kini mulai menggemakan perubahan: “Satu Desa Satu Muzakki.”

Konsep ini pada dasarnya sederhana, tapi dampaknya strategis. Para Panglima Desa, yang setiap hari bergumul langsung dengan realitas rakyatnya, mulai menyadari satu potensi yang selama ini terabaikan: zakat. Bukan zakat dalam bentuk seremonial tahunan, tapi zakat yang dikelola secara lokal, terarah, dan produktif. Mereka lalu menginisiasi satu langkah konkret: menetapkan satu sosok atau tim penggerak zakat di setiap desa. Sosok ini bukan orang luar, melainkan warga yang dikenal masyarakat—tokoh masjid, relawan, atau perangkat desa yang punya integritas dan kepedulian tinggi. Inilah yang disebut sebagai “Muzakki Desa.”

Apa yang mereka lakukan jauh dari hingar-bingar media. Tetapi diam-diam, gerakan ini menyulut perubahan besar. Dengan memetakan siapa saja warga yang wajib zakat (muzakki), dan siapa yang berhak menerima (mustahik), para Muzakki Desa mulai mengumpulkan zakat secara langsung, lalu menyalurkannya kepada tetangganya sendiri. Tanpa birokrasi panjang. Tanpa biaya administrasi tinggi. Tanpa keraguan akan siapa yang paling membutuhkan. Solidaritas sosial kembali tumbuh, bukan dari ajakan, tapi dari tindakan nyata.

Para Panglima Desa memahami bahwa zakat bukan sekadar distribusi dana, melainkan alat strategis membangun daya tahan ekonomi lokal. Maka dana zakat tidak hanya dibagikan sebagai bantuan konsumtif, tetapi dimanfaatkan sebagai modal usaha kecil, pelatihan keterampilan, dan penguatan ketahanan pangan desa. Di sinilah zakat berubah wujud: dari sekadar transfer kekayaan menjadi instrumen pemberdayaan. Desa yang dulunya hanya menjadi sasaran program kini menjelma sebagai pelaku utama pembangunan.

Yang membuat konsep ini semakin relevan adalah kesesuaiannya dengan kondisi Indonesia. Dari 74.000 lebih desa di negeri ini, tiap desa memiliki struktur sosial yang unik, hubungan antarwarga yang erat, dan tokoh lokal yang dihormati. Ketika zakat dikelola secara desentralistik berbasis desa, maka efektivitasnya meningkat, kebocoran menurun, dan dampaknya langsung terasa di akar rumput.

Namun tentu saja, gerakan ini tidak tanpa hambatan. Tantangan pertama adalah pendidikan zakat dan manajemen di tingkat lokal. Tak semua Muzakki Desa paham hukum zakat maupun cara mengelola dana umat. Di sinilah para Panglima Desa harus bekerja sama dengan lembaga zakat resmi seperti BAZNAS dan LAZ untuk memberikan bimbingan dan pelatihan teknis. Tantangan kedua adalah transparansi dan akuntabilitas, yang menjadi kunci membangun kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa desa bahkan mulai mengembangkan sistem pelaporan digital berbasis aplikasi sederhana agar warga bisa melihat langsung ke mana zakat mereka disalurkan.

Yang menarik, semangat “Satu Desa Satu Muzakki” ini bukan hanya menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga membangun identitas kolektif umat. Di tengah gempuran budaya individualistik dan pragmatisme global, para Panglima Desa menanamkan nilai keikhlasan, gotong royong, dan tanggung jawab sosial berbasis syariat Islam. Mereka sedang membangun ulang peradaban dari pinggiran—dengan zakat sebagai fondasi awalnya.

Jika gagasan ini terus berkembang dan mendapat dukungan sistemik dari pemerintah dan masyarakat, maka ia bisa menjadi model nasional kebangkitan umat dari desa. Bayangkan jika seluruh desa memiliki satu pengelola zakat aktif yang terpercaya. Maka akan ada puluhan ribu titik distribusi keadilan sosial di seluruh negeri, yang bergerak bukan karena anggaran pusat, tapi karena iman dan tanggung jawab sosial.

Para Panglima Desa telah membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari desa. Dari zakat yang dikelola dengan niat dan sistem, mereka sedang menunjukkan jalan baru menuju Indonesia yang adil dan sejahtera, tidak dari puncak ke bawah, tetapi dari akar menuju langit.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *