Di sebuah desa kecil di lereng perbukitan Nusantara, ketika banyak kepala desa sibuk dengan rutinitas administratif dan urusan formalitas pembangunan, Lukmanul Hakim melangkah dengan cara yang berbeda. Ia tidak ingin sekadar menjadi pengelola desa, tetapi penggerak peradaban dari bawah. Ia percaya, perubahan besar Indonesia harus dimulai dari pinggiran—dari desa.
Melampaui Batas Formalitas: Memantik Api Kesadaran
Lukmanul Hakim memulai misinya bukan dengan program seremonial, tetapi dengan membangkitkan kesadaran kolektif. Baginya, pembangunan sejati tidak cukup dengan jalan beton dan balai baru, tapi dengan membangun cara berpikir.
Dengan langkah berani, ia mengundang seorang pemikir nasional yang kontroversial dan berani: Rocky Gerung. Bukan untuk kampanye, bukan untuk pencitraan. Tapi untuk membuka cakrawala berpikir masyarakat desa—bahwa menjadi rakyat bukan berarti menjadi objek. Bahwa kecerdasan bukan monopoli kota.
“Orang pintar bukan yang punya gelar, tapi yang berani berpikir kritis,” ujar Rocky di balai desa yang penuh sesak malam itu. Para petani, pemuda karang taruna, hingga ibu-ibu PKK hadir dengan mata yang berbinar. Diskusi itu menjadi titik balik: kesadaran bahwa desa tidak boleh terus bergantung.
Pembangunan Holistik: Dari Lumbung ke Laboratorium Ide
Lukmanul Hakim membawa konsep pembangunan holistik. Ia sadar, pembangunan tak bisa jalan satu jalur. Maka ia membangun:
- Sekolah Petani Cerdas: Di sinilah warga belajar soal ekologi tanah, teknologi irigasi sederhana, hingga pemasaran digital hasil pertanian.
- Balai Inovasi Desa: Tempat anak-anak muda menciptakan solusi—dari komposter sampah, sistem irigasi tenaga surya, sampai aplikasi stok pangan desa.
- Forum Literasi Warga: Membahas isu nasional dari kacamata lokal, agar warga tidak jadi korban hoaks, tapi pelaku solusi.
Semua itu bukan proyek, tapi gerakan yang tumbuh dari kesadaran baru.
Membalik Narasi: Desa Bukan Objek, Tapi Subjek Bangsa
Kades Lukman mengajarkan bahwa desa bukan hanya tempat tinggal, tapi pusat peradaban baru. Ia mengajarkan bahwa kemajuan tak selalu datang dari atas. Bahwa “desa bisa jadi universitas rakyat jika pemimpinnya berani berpikir di luar kotak.”
Visi Lukman menular. Kini banyak desa tetangga mengirim perangkatnya belajar ke desanya. Bahkan, kampus-kampus kota datang untuk kolaborasi. Desa kecil itu, yang dulu tak dikenal, kini menjadi simpul gagasan Indonesia baru.
Refleksi untuk Bangsa
Lukmanul Hakim membuktikan: dengan keberanian berpikir dan kemauan belajar, desa bisa menginspirasi negara. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan desa bukanlah posisi birokrasi, tapi mandat sejarah untuk mengangkat harkat rakyat kecil.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Tapi sering kekurangan pemimpin yang berani menyalakan api kesadaran. Dan dari sebuah balai desa yang sederhana, satu pemimpin desa telah menyalakan nyala itu.
“Bangun desa bukan sekadar membangun jalan, tapi membangun jalan pikiran.”
— Lukmanul Hakim