Dalam sejarah manusia, kata-kata sering kali menjadi jalan pertama untuk mengingatkan. Nasihat, kritik, atau seruan moral hadir sebagai pagar agar manusia tidak tergelincir ke jurang kesalahan. Namun, ada kalanya kata-kata tidak lagi dihiraukan. Telinga ditutup, hati dikeraskan, dan logika dibungkam oleh kepentingan. Pada titik inilah, sejarah mengajarkan: manusia yang tidak bisa dinasihati oleh kata-kata, pada akhirnya akan dinasihati oleh peristiwa.
Apa yang kita saksikan hari-hari ini di jalan-jalan kota besar Indonesia adalah bukti nyata. Demonstrasi besar-besaran, dengan gelombang massa yang memadati alun-alun dan persimpangan kota, adalah “bahasa peristiwa” yang lahir dari akumulasi kekecewaan. Rakyat sudah lama menyampaikan keresahannya lewat kata-kata: diskusi publik, opini media, hingga seruan akademisi dan tokoh masyarakat. Namun ketika kata-kata itu diabaikan, rakyat akhirnya berbicara dengan cara yang lebih keras: turun ke jalan, menggetarkan kota, dan memaksa penguasa menoleh.
Demonstrasi bukan sekadar kerumunan; ia adalah “peristiwa peringatan” yang tidak bisa dihapus begitu saja. Ia adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam relasi antara rakyat dan pemimpinnya. Kata-kata yang dulu lembut kini menjelma teriakan lantang, bahkan kadang menjadi letupan anarkis. Itu semua lahir dari satu hal: ketidakmauan penguasa mendengar.
Sejarah bangsa ini pun sudah sering mengajarkan pola yang sama. Ketika pemimpin menutup mata dan telinga dari suara rakyat, peristiwa besar akan mengguncang: reformasi, kejatuhan rezim, hingga gelombang perubahan sosial. Semua itu bukan semata-mata karena rakyat beringas, melainkan karena ruang dialog sudah mati.
Maka dari itu, demonstrasi besar-besaran saat ini bukan sekadar fenomena politik, melainkan sebuah nasihat kolektif yang lahir dari peristiwa. Pesannya sederhana tapi keras: dengarlah suara rakyat sebelum terlambat. Sebab, bila kata-kata tak lagi dihargai, peristiwa akan mengambil alih, dan sejarah selalu mencatat bahwa harga dari sebuah peristiwa jauh lebih mahal daripada sekadar mendengar kritik sejak awal.
🌏 bangsa yang bijak adalah bangsa yang mau belajar dari kata-kata, bukan menunggu peristiwa mengguncang. Karena peristiwa adalah guru yang tegas, tapi juga kejam—ia mengajarkan dengan luka, air mata, bahkan darah.