Nagari (Desa di Minangkabau)
“Randuak di Balik Padi: Jejak Sumbang Duo Baleh”
Di sebuah nagari kecil yang dipeluk sawah dan bukit, tinggallah seorang gadis bernama Randuak. Sejak kecil, ia dibesarkan oleh Mak Etek, seorang perempuan tua penjaga adat yang dihormati di kampungnya, Nagari Simpang Balimbiang. Randuak dikenal cerdas, tapi juga keras kepala. Ia lebih suka berlarian di pematang sawah ketimbang belajar menyulam atau duduk sopan di depan tamu.
Suatu hari, Randuak dipanggil untuk menghadiri Alekan Adat—pertemuan penting di Balai Nagari, karena akan ada kunjungan dari perantau yang ingin membuka usaha di kampung. Randuak, yang merasa sudah cukup dewasa, berjalan cepat, berbicara lantang, dan duduk sembarangan sambil bermain ponsel. Beberapa orang tua di balai menatapnya dengan pandangan tak nyaman.
Setelah acara, Mak Etek memanggilnya pelan, “Randuak, kau anak pintar. Tapi di kampuang ini, adat lebih tinggi dari bukit. Bukan hanya ilmu, tapi sikaplah yang menunjukkan siapa dirimu.”
Randuak menunduk. Malam itu, Mak Etek mengajaknya duduk di tikar pandan dan mulai menjelaskan satu demi satu Sumbang Duo Baleh—12 aturan emas perempuan Minangkabau:
“Sumbang duduak, tagak, bajalan… itu bukan soal tubuh saja, tapi cermin hatimu. Kalau kau bisa duduk dengan hormat, orang akan segan. Kalau berdiri dengan anggun, orang akan percaya. Kalau berjalan tanpa tergesa, artinya kau tahu ke mana arahmu.”
Mak Etek melanjutkan tentang sumbang kato dan sumbang caliak, menjelaskan bahwa kata-kata bisa mengangkat atau menjatuhkan, dan pandangan bisa menjaga atau merusak kehormatan.
“Perempuan Minang bukan hanya penjaga rumah gadang, tapi juga wajah adat. Dari caramu makan, berpakaian, hingga menjawab tanya—semua adalah bagian dari kesantunan. Itu bukan beban, tapi pelindung. Kalau adat kita hilang, siapa yang akan menuntun generasi sesudahmu?”
Hari demi hari, Randuak mulai berubah. Ia belajar berjalan pelan saat melewati orang tua, menatap dengan hormat saat berbicara, dan memilih kata-kata dengan hati-hati. Ia bahkan mulai mengajar anak-anak kecil tentang cara makan di bawah rumah gadang, tidak bersuara, tidak berdiri, tidak terburu-buru.
Beberapa bulan kemudian, Randuak ditunjuk sebagai pembawa acara dalam pertemuan adat dengan perantau. Kali ini, ia berdiri tegak tanpa sombong, berbicara lembut tapi tegas, dan menunduk sedikit setiap kali diberi sambutan. Semua orang terdiam, kagum pada perubahan gadis itu.
Setelah acara, salah satu penghulu berkata, “Randuak kini bukan sekadar anak kampung. Ia telah menjadi gambaran limpapeh rumah nan gadang.”
Pesan Panglima Perempuan Nagari
Sumbang Duo Baleh bukan hanya larangan atau aturan lama. Ia adalah jalan sunyi perempuan Minang untuk menjaga harga diri dan martabat, bukan untuk dibatasi, tapi untuk ditinggikan. Di balik setiap sumbang, ada nilai. Dan di balik setiap nilai, ada marwah yang harus dijaga.
Di dunia yang serba cepat dan bebas, mungkin kita butuh kembali melihat apa yang telah lama ditanam oleh nenek moyang kita. Karena di nagari, adat bukan milik masa lalu—tapi petunjuk untuk masa depan.